Tahun 1960-an, saat usia kemerdekaan kita masih berbilang belasan tahun, Indonesia –dan Bung Karno– sudah menjadi bangsa dan negara yang dihargai oleh para pemimpin negara besar, utamanya penguasa Blok Kapitalis (Amerika Serikat) dan Blok Komunis (Rusia atau Uni Sovyet). Kedua negara adidaya yang terlibat perang dingin karena beda ideologi tadi, saling berebut pengaruh terhadap Indonesia. Sikap Bung Karno?...
Sangat jelas, dia menyuarakan kepada dunia sebagai negara nonblok. Sekalipun begitu. bukan berarti Indonesia adalah negara yang istilah Bung Karno hanya “duduk thenguk-thenguk” tanpa berbuat apa-apa bagi peradaban dunia. Nonblok yang aktif. Karena itu pula, Bung Karno berhasil menggalang kekuatan-kekuatan baru yang ia wadahi dalam NEFO (New Emerging Forces), sebuah kekuatan baru, terdiri atas negara-negara yang baru merdeka, atau sedang berkembang.
Sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia sebenarnya mempunyai pesawat khusus kepresidenan. Kala itu pesawat yang dipakai Bung Karno adalah pesawat jenis Ilyushin Il-18. Pesawat ini pemberian dari Pemerintah Rusia. Pesawat yang diberi nama Dolok Martimbang inilah yang selalu membawa Bung Karno ke seluruh Nusantara.
Ini sempat jadi masalah diplomatik, ketika Bung Karno hendak berkunjung ke Rusia, memenuhi undangan Kamerad Nikita Kruschev. Sebab waktu itu, tidak ada satu pun perusahaan penerbangan Amerika Serikat yang mempunyai hubungan tetap dengan Moskow.
Rusia terang-terangan keberatan bila Bung Karno datang menggunakan PanAm dan mendarat di Moskow. Karena itu, pihak pemerintah Rusia mengajukan usul, akan menjemput Bung Karno di Jakarta menggunakan pesawat Rusia yang lebih besar, lebih perkasa, Ilyushin L.111.
Sudah watak Bung Karno untuk tidak mau didikte oleh pemimpin negara mana pun. Termasuk dalam urusan pesawat jenis apa yang hendak ia gunakan. Karenanya, atas usulan Rusia tadi, Bung Karno menolak. Bahkan jika kedatangannya menggunakan PanAm ditolak, ia dengan senang hati akan membatalkan kunjungan ke Rusia.
Pemerintah Rusia pun mengalah. Ya… mengalah kepada Sukarno, presiden dari sebuah negara yang belum lama berstatus sebagai negara merdeka, lepas dari pendudukan Belanda dan Jepang.
Akan tetapi, tampaknya Rusia tidak mau kehilangan muka sama sekali, dengan mendaratnya sebuah pesawat Amerika –musuhnya– di tanah Moskow. Alhasil, ketika pesawat PanAm jenis DC-8 mendarat di bandar udara Moskow, petugas traffic bandara langsung mengarahkan pesawat yang ditumpangi Sukarno dan rombongan parkir tepat di antara dua pesawat terbang “raksasa” buatan Rusia, jenis Ilyushin seri L.111. Seketika, tampak benar betapa kecilnya pesawat Amerika itu bila dibanding dengan pesawat jet raksasa buatan Rusia.
Belum cukup dengan aksi “unjuk gigi” tadi, Kruschev yang menjemput Bung Karno di lapangan terbang, masih pula menambahkan, “Hai, Bung Karno! Itukah pesawat kapitalis yang engkau senangi? Lihatlah, tidakkah pesawat-pesawatku lebih perkasa?”
Mendengar ucapan itu, Bung Karno hanya tersenyum lebar dan menjawab, “Kamerad Kruschev, memang benar pesawatmu kelihatan jauh lebih besar dan gagah, tetapi saya merasa lebih comfortable dalam pesawat PanAm yang lebih kecil itu.” Satu hal yang dapat kita petik dari tulisan ini adalah: Betapa kokohnya Presiden Soekarno dalam mempertahankan prinsip dan sangat antinya Pemimpin Besar Revolusi ini untuk diatur bangsa lain, jangankan politik atau batas wilayah Negara, masalah pesawat terbangpun Presiden Soekarno tidak mau dicampuri. Pertanyaan besar yang ada sekarang adalah: “Mampukah Presiden pasca Soekarno memiliki keteguhan prinsip seperti Soekarno.”
Selain pesawat terbang jenis Ilyushin Il-18, Bung Karno juga pernah memakai pesawat jenis Boeing 707 sebagai pesawat kepresidenan. Pemakaian pesawat jenis ini oleh Bung Karno dilakukan tidak lama setelah Presiden Amerika Serikat juga memakai jenis yang sama. Pesawat Boeing 707 bukan milik negara, namun milik perusahaan penerbangan Pan American Airways (Pan-Am) yang disewa pemerintah.
Pada 1961 ketika berkunjung ke Washington, AS dia diberi hadiah sebuah Holikopter Sikorsky oleh Presiden AS John F Kennedy. Moda transportasi udara itu oleh Bung Karno dijadikan helikopter kepresidenan. Helikopter inilah yang sering dipakai Bung Karno ketika berkunjung ke Istana Bogor setiap akhir pekan. Bung Karno juga pernah memakai pesawat Jetstar yang dibeli pemerintah dari perusahaan Lockheed. Saat pergantian pemimpin pemerintahan tampaknya pesawat kepresidenan juga berganti
Bukanlah pion-pion yang di atas papan catur yang tuan-tuan hadapi.
Yang tuan-tuan hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, citacita
manusia dan hari depan manusia.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30
September 1960]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar